Masih Ada Celah TKDN yang Bisa ‘Dimanfaatkan’
KE DEPAN, PEMBANGUNAN SEKTOR KELISTRIKAN AKAN DIPACU. PENGUSAHA PERALATAN KELISTRIKAN TANAH AIR HARUS SIAP MENJADI TUAN RUMAH DI NEGERI SENDIRI.
– DAMAR RUSLI
Dalam setiap derap langkah pembangunan di Indonesia, sudah semestinya industri lokal mampu bicara banyak. Termasuk juga dalam pembangunan sektor kelistrikan. Tapi faktanya, Indonesia sering kali hanya dijadikan pasar oleh produsen-produsen asing lewat gelontoran produknya yang dinilai lebih murah ketimbang produk lokal.
Kondisi tersebut sempat membuat anggota Asosiasi Produsen Peralatan Listrik Indonesia (APPI) ketar-ketir. Kapabilitas pabrikan lokal pun dipertaruhkan. Menurut Suwardi Setiawan, Wakil Ketua APPI, saat ini yang berhak menjadi anggota APPI adalah pabrikan. Selain pabrikan atau industri tidak bisa menjadi anggota APPI. “Masalahnya kadang ada pedagang besar yang mengaku sebagai industri kecil. Ini fairness- nya jadi hilang,” tegas Suwardi. Suwardi menjelaskan bahwa APPI memiliki 11 bidang kerja, yang masing-masing akan mengaudit anggota. “Sehingga bisa saja ada calon anggota yang kami tolak karena bukan pabrikan,” tegasnya. Dia pun mengutip definisi pabrikan dari Kementerian Perindustrian yang mengatakan bahwa pabrikan itu harus mampu mengubah wujud, mengubah sifat, dan mengubah fungsi.
Menurut Suwardi industri atau pabrikan itu adalah tulang punggung untuk menyangga ekonomi Indonesia. “Jadi kalau itu, trickel down effect-nya akan dapat. Kita akan berinvestasi, akan membawa uang ke masyarakat, membawa perkembangan ekonomi sekaligus membuka lapangan kerja,” katanya.
Tumbuhnya industri dalam negeri dikatakan akan memicu pertumbuhan ekonomi. Dan ini sejalan dengan target pemerintah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen dalam lima tahun ke depan. Oleh karenanya industri lokal, seperti pabrikan yang tergabung di APPI mempunyai peranan penting dalam menggairahkan perekonomian di dalam negeri. Jika industri lokalnya redup, jangan harap target 8 persen itu bisa dicapai.
Nurinda and The Backbone
Suwardi Setiawan bukanlah orang baru di industri peralatan listrik. PT Nurinda yang dikenal sebagai produsen panel listrik, sudah didirikannya sejak tahun 1994 silam. Namun Nurinda baru benar- benar berkiprah di bidang utilitas PLN pada tahun 2001. “Sebelumnya kita lebih ke pasar bebas. Tapi tetap di bidang kelistrikan. Kita memang menekankan kemandirian dalam produksi. Kita juga menekankan bahwa semua harus bisa diproduksi di dalam negeri,” ucap Suwardi mengenang ihwal Nurinda di awal kariernya.
Menurutnya ketika bicara utilitas, PLN sudah menerapkan standarnya (SPLN). Nurinda sudah sejak 2001 bermitra dengan PLN. “Jadi tidak mungkin produk kami di bawah standar PLN,” terangnya.
Lalu terkait dengan kapasitas, sebagai vendor Nurinda juga sudah mampu memenuhi kebutuhan PLN selama ini. “Kami sudah mampu menyuplai kebutuhan PLN di seluruh Indonesia,” katanya. Menurutnya, Nurinda dalam berbisnis juga sudah melakukan compliance (sesuai dengan norma bisnis). “Kami sudah compliance dengan keinginan PLN. Jadi kami juga sudah bisa mensuplai kebutuhan PLN se- Indonesia,” terang Suwardi.
Selain memiliki keunggulan pada produk, Nurinda juga memberikan jaminan pengiriman dan administrasi mudah. Keunggulan lainnya adalah hampir semua barang produksi Nurinda yang dikirm ke PLN nyaris tak ada komplain. “Pengurusan administrasi yang cepat dan pengiriman barang yang segera, itu yang kita kedepankan”, ujar Suwardi yang memiliki pabrik di Cikupa, Tangerang dengan jumlah karyawan mencapai 350 orang.
Terkait dengan upaya mewujudkan industri lokal yang mampu bicara di dalam negeri, menurutnya pengusaha lokal memang harus bekerja sama dengan pemerintah. Alasannya adalah karena yang membuat regulasi adalah pemerintah. “Karena selama ini aturan main yang dikedepankan untuk membendung barang-barang luar negeri atau impor ini adalah TKDN,” ungkapnya.
Suwardi juga menceritakan bahwa ada tiga varian produk Nurinda yang disuplai ke PLN seperti PHBTR (Perangkat Hubung Bagi Tegangan Rendah), PHBTM (Perangkat Hubung Bagi Tegangan Menengah), dan Jointing dan Terminasi TM (Tegangan Menengah). Intinya bahwa masing- masing produk Nurinda TKDN-nya berbeda-beda, sesuai dengan kondisi lapangan.
Contoh produk jointing yang diproduksi Nurinda, itu material kimianya tetap harus impor. “Kami menggunakan silicon rubber dan itu tetap impor karena dalam negeri belum sanggup memproduksi. Jadi tidak bisa kita sama ratakan semua TKDN-nya,” terangnya.
Menyangkut TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri), ada yang merisaukan Suwardi selama ini. Yaitu karena yang diukur TKDN hanya komponen saja. Misalnya pemerintah yang memiliki program P3DN (Program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri), adalah salah satu upaya Pemerintah untuk mendorong masyarakat agar lebih menggunakan produk dalam negeri dibandingkan produk impor.
“Jadi kata kuncinya adalah produk, bukan produksi sehingga tidak menekankan proses di sana. Inilah yang saya bilang sekarang TKDN ini masih menjadi celah barang impor masuk. Karena produk dalam negeri itu mudah disalahartikan. Kalau produksi, maka kita harus melihat prosesnya,” tegasnya.